malam itu jam arlojiku sudah menunjukkan pukul 21.57, dan aku hanya berdua denganmu, yang sedang berjuang untuk tetap hidup. Di setiap detiknya kamu terus bertahan, sambil mungkin merintih kesakitan atau semacamnya dengan bahasa yang sulit kupahami kala itu.
Aku berusaha untuk tetap menyentuhmu dan mengajakmu berbicara. Seberapa keras berusaha, tapi yang namanya takdir itu kadang tak memihak pada harapan seorang manusia. Tak pelak air mataku mulai mengucur tak tertahankan. Maafkan aku yang terlalu mudah panik, tapi saat itu aku benar-benar tidak tahu lagi harus berbuat apa. Tiba-tiba kamu tersengal-sengal dan mungkin hampir tidak bisa meresponku sama sekali. Menahan air mata saja sudah tak sanggup apalagi mengelola emosiku yang berkecamuk tak tentu.
Jantungku tiba-tiba berhenti dan sekian detik kemudian aku merasakan sebuah rasa takut kehilangan yang teramat sangat. Sekian detik kemudian yang kurasakan hanyalah dingin dan hati yang beku. Aku benar-benar menghadapi perasaan kehilangan itu secara nyata, secepat itu. Ya, secepat itu.
Aku buru-buru menepisnya dan berusaha untuk tetap mengguncang-guncang tubuhmu,
tapi seperti komputer, layarmu telah padam dan kamu tak meresponku sama sekali.
Kulihat layar smartphoneku, 22.22 angka yang tak pernah ingin kulihat dan kukenang lagi. Aku ingin berteriak tapi apa daya hanyalah isak tangis yang terdengar. Air mataku tak bergulir begitu saja tanpa dosa, menerima kenyataan bahwa kamu sudah tidak ada lagi di sini.
Aku pikir kamu akan tetap bersamaku, aku pikir kamu akan tetap membersamai langkahku
Aku sudah bermimpi sejauh itu dan semuanya melebur jadi satu bersama air mata. Aku tidak percaya, seketika runtuh sudah semua dayaku untuk menuju impian di masa depan.Yang tersisa adalah hampa.
Berjam-jam, berhari-hari, bahkan berbulan-bulan aku berusaha untuk bangkit.
Aku berusaha untuk bahagia dan bermimpi meskipun tanpa kamu
Aku menyadari prosesnya akan tertatih-tatih, tapi aku ingin tetap berjalan.
Dengan sadar pula kalau perasaan kehilangan yang disimpan sendiri itu jauh menyakitkan tapi sejak itu aku tidak peduli lagi dengan yang namanya rasa sakit dan perasaan ditinggalkan. Semakin membicarakannya dengan orang aku takut masih merasa terluka dan tak bisa merelakanmu.
Mungkin butuh sekian tahun untuk melepasmu.
Tapi dengan terbata-bata aku ingin mengucapkan selamat jalan...tenanglah di sana, aku akan tetap melanjutkan hidup dan mimpiku :)
Yogyakarta,
15 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar