Rabu, 09 November 2016

Mengenang Sebuah Rasa yang Tak Terjelaskan

malam itu jam arlojiku sudah menunjukkan pukul 21.57, dan aku hanya berdua denganmu, yang sedang berjuang untuk tetap hidup. Di setiap detiknya kamu terus bertahan, sambil mungkin merintih kesakitan atau semacamnya dengan bahasa yang sulit kupahami kala itu.

Aku berusaha untuk tetap menyentuhmu dan mengajakmu berbicara. Seberapa keras berusaha, tapi yang namanya takdir itu kadang tak memihak pada harapan seorang manusia. Tak pelak air mataku mulai mengucur tak tertahankan. Maafkan aku yang terlalu mudah panik, tapi saat itu aku benar-benar tidak tahu lagi harus berbuat apa. Tiba-tiba kamu tersengal-sengal dan mungkin hampir tidak bisa meresponku sama sekali. Menahan air mata saja sudah tak sanggup apalagi mengelola emosiku yang berkecamuk tak tentu.

Jantungku tiba-tiba berhenti dan sekian detik kemudian aku merasakan sebuah rasa takut kehilangan yang teramat sangat. Sekian detik kemudian yang kurasakan hanyalah dingin dan hati yang beku. Aku benar-benar menghadapi perasaan kehilangan itu secara nyata, secepat itu. Ya, secepat itu.


Aku buru-buru menepisnya dan berusaha untuk tetap mengguncang-guncang tubuhmu,
tapi seperti komputer, layarmu telah padam dan kamu tak meresponku sama sekali.
Kulihat layar smartphoneku, 22.22 angka yang tak pernah ingin kulihat dan kukenang lagi. Aku ingin berteriak tapi apa daya hanyalah isak tangis yang terdengar. Air mataku tak bergulir begitu saja tanpa dosa, menerima kenyataan bahwa kamu sudah tidak ada lagi di sini.

Aku pikir kamu akan tetap bersamaku, aku pikir kamu akan tetap membersamai langkahku
Aku sudah bermimpi sejauh itu dan semuanya melebur jadi satu bersama air mata. Aku tidak percaya, seketika runtuh sudah semua dayaku untuk menuju impian di masa depan.Yang tersisa adalah hampa.

Berjam-jam, berhari-hari, bahkan berbulan-bulan aku berusaha untuk bangkit.
Aku berusaha untuk bahagia dan bermimpi meskipun tanpa kamu
Aku menyadari prosesnya akan tertatih-tatih, tapi aku ingin tetap berjalan.

Dengan sadar pula kalau perasaan kehilangan yang disimpan sendiri itu jauh menyakitkan tapi sejak itu aku tidak peduli lagi dengan yang namanya rasa sakit dan perasaan ditinggalkan. Semakin membicarakannya dengan orang aku takut masih merasa terluka dan tak bisa merelakanmu.
Mungkin butuh sekian tahun untuk melepasmu.
Tapi dengan terbata-bata aku ingin mengucapkan selamat jalan...tenanglah di sana, aku akan tetap melanjutkan hidup dan mimpiku :)

Yogyakarta,
15 November 2012

Mengenang Sebuah Rasa yang Tak Terjelaskan

malam itu jam arlojiku sudah menunjukkan pukul 21.57, dan aku hanya berdua denganmu, yang sedang berjuang untuk tetap hidup. Di setiap detiknya kamu terus bertahan, sambil mungkin merintih kesakitan atau semacamnya.

Aku berusaha untuk tetap menyentuhmu dan mengajakmu berbicara. Tak pelak air mataku mulai mengucur tak tertahankan. Maafkan aku yang terlalu mudah panik, tapi saat itu aku benar-benar tidak tahu lagi harus berbuat apa.

Tiba-tiba kamu tersengal-sengal dan mungkin hampir tidak bisa meresponku sama sekali.
Jantungku tiba-tiba berhenti dan sekian detik kemudian aku merasakan sebuah rasa takut kehilangan yang teramat sangat.

Aku buru-buru menepisnya dan berusaha untuk tetap mengguncang-guncang tubuhmu,
tapi seperti komputer, layarmu telah padam dan kamu tak meresponku sama sekali.
Kulihat layar smartphoneku, 22.22 angka yang cantik tapi tidak lagi untukku.
Air mataku tak berhenti bergulir menerima kenyataan kamu sudah tidak ada lagi di sini.

Aku pikir kamu akan tetap bersamaku, aku pikir kamu akan tetap membersamai langkahku
Aku sudah bermimpi sejauh itu dan semuanya melebur jadi satu bersama air mata.
Aku tidak percaya dan seketika runtuh sudah semua dayaku untuk menuju impian di masa depan.

Berjam-jam, berhari-hari, bahkan berbulan-bulan aku berusaha untuk bangkit.
Aku berusaha untuk bahagia dan bermimpi meskipun tanpa kamu
Aku menyadari prosesnya akan tertatih-tatih, tapi aku ingin tetap berjalan.

Dengan sadar pula kalau perasaan kehilangan yang disimpan sendiri itu jauh menyakitkan tapi aku tidak peduli. Semakin membicarakannya dengan orang aku takut masih merasa terlukan dan tak bisa merelakanmu. Selamat jalan...tenanglah di sana, aku akan tetap melanjutkan hidup dan mimpiku :)

Yogyakarta,
15 November 2012

Minggu, 06 November 2016

Jurnal Positifku: Mengapa kita lebih mudah menangkap hal-hal negatif

Kecenderungan otak manusia adalah lebih mudah menangkap peristiwa atau hal-hal negatif dibanding hal-hal positifnya. Oleh karena itu, ketika berada dalam kondisi tertekan kita akan lebih mudah menilai diri lebih rendah, merasa tidak mampu, tidak berdaya, tidak berharga, tidak berarti dan sejenisnya. Hal ini terjadi karena stimulus negatif lebih mudah mengurangi kinerja/aktivasi hormon kebahagiaan sehingga memicu batang otak kita untuk lebih lebih sensitif terhadap hal-hal atau sisi-sisi negatif. Proses yang terjadi pun mengarahkan kita ke pemikiran yang negatif, sehingga sinaps-sinaps di otak yang merangsang jalur emosi di bagian amygdala pun cenderung menstimulasi dan memunculkan emosi negatif dibanding positif. Terlebih lagi saat peristiwa tidak menyenangkan yang disertai dengan emosi negatif tersebut terus menerus di-retrieve sehingga menstimulasi tubuh kita untuk meresponnya lebih sering dan dalam intensitas yang lebih besar. Akibatnya, hormon neurotransmitter akan melakukan bonded pada hal-hal negatif dan mem-blocked hal lain (yang bersifat positif), serta menurunkan aktivasi hormon kebahagiaan yang berdampak pada semakin menurunnya daya tahan tubuh. Penurunan daya tahan tubuh ini pun selanjutnya akan memicu reaksi fisiologis di beberapa titik nyeri syaraf parasimpatetik. Itulah mengapa orang yang sedang merasa tertekan lebih rentan merasa sakit (seringkali disebut munculnya simtom fisik stres atau psikosomatis). 

Namun demikian, kalau kita pelajari jauh lagi tentang brain plasticity, ternyata otak kita itu bersifat plastis. Hal ini memungkinkan kita untuk melakukan cara-cara tertentu, sebagai usaha untuk mengurangi atau bahkan mengubah pemikiran negatif kita ke arah positif. Telah banyak hasil kajian yang mengulas bahwa kegiatan-kegiatan positif ataupun aktivitas-aktivitas sederhana yang dirasa positif mampu meningkatkan sisi positif kita, bila dilakukan secara rutin dan sungguh-sungguh. Misalnya saja, setiap hari kita membayangkan kejadian-kejadian yang positif. Hal ini akan mengaktivasi gelombang elektromagnetik yang sesuai (compatible) dengan tubuh sehingga kita lebih mudah memicu sisi positif dalam diri kita, salah satunya hormon kebahagiaan. Kegiatan membayangkan hal-hal positif yang diulang-ulang setiap hari, paling tidak setiap bangun dan akan tidur, selain dapat meningkatkan sisi positif kita, hal ini juga memudahkan kita untuk mewujudkannya menjadi sebuah kenyataan.
Saya rasa alasan ini cukup masuk akal sebagai dasar-dasar kegiatan positif, seperti membuat gambaran positif tentang diri kita di masa depan, mensyukuri apa yang didapatkan/dialami, dan mengingat tiga hal baik dalam hidup kita, serta proses savoring (menikmati pengalaman masa lalu, masa kini, dan kemungkinan di masa depan yang menyenangkan), penting untuk dilakukan.