Jumat, 10 September 2010

Mengajarkan Ataukah Memberikan Teladan?

Malam takbiran 1431 H kemaren, yang tepat jatuh pada tanggal 9 September 2010, telah memberikanku pengalaman berharga yang tidak akan pernah kulupakan. Mungkin ceritanya agak simpel sih, tapi bagiku itu pengalaman yang mengajarkanku arti keteladanan, dan mungkin juga menjadi pengalaman berharga bagi orang lain yang membaca ini.

Acara malam takbiran tahun ini memang lebih meriah dibanding malam takbiran tahun lalu. Pasalnya, lima masjid dan satu mushola bergabung menjadi satu dan dikemas dalam perlombaan oncor. Alhasil, suasana pun dipenuhi dengan gema takbir. Mengharukan banget.

Di sini, aku termasuk ke dalam kelompok anak-anak (mungkin tepatnya remaja kali, remaja pun udah tergolong remaja akhir) dari mushola, yang jumlah pesertanya paling sedikit dibanding lainnya. Yaiyyalah paling sedikit, lha wong pemuda di tempatku tinggal cuman sedikit (apa banyak tapi nggak kelihatan ya? hmm,... aku juga nggak tahu tepatnya sih). Nah, karena jumlahnya yang sedikit, sangat memungkinkan bahkan memudahkan panitia untuk mengkoordinirnya.

Pada awalnya, barisan peserta lomba oncor dibentuk memanjang (dalam istilah tonti sih sering disebut berbanjar) dengan jumlah tiap baris 3 orang. Anak-anak di depan (boleh juga ditemani orang tua) dan yang remaja atau yang sudah dewasa berada di barisan belakang. Ketika perjalanan di mulai, barisan terlihat rapi dan anak-anak yang mengikuti kegiatan terlihat antusias (wah...jadi malu, berasa tua tapi tidak memiliki semangat seperti itu.. T.T)

Tapi, sayangnya,di tengah perjalanan, barisan terlihat semakin memadati jalan dan tidak teratur lagi seperti sedia kala. Hal ini dipicu oleh adanya dua hingga empat orang remaja yang keluar dari barisan. Terang aja barisan pun menjadi amburadul. Melihat barisan yang maburadul tidak seperti sebelumnya, salah seorang panitia meneriaki anak-anak yang masih lugu dan polos ini agar berbaris secara rapi. Dalam bahasa Jawa, mereka sih bilang "Baris e telu-telu"

Anak-anak pun kembali merapikan barisan lagi, barisan menjadi rapi kembali, tapi ada remaja yang keluar dari barisan lagi, barisan kembali tidak teratur, beberapa dari remaja pun kembali mengingatkan, dan begitu seterusnya.

Aku sangat merasa aneh dengan kejadian ini. Yah, berhubung aku tidak punya wewenang di sini, ya aku diam aja. Tapi dalam pikiranku sempat terlintas, "Terang aja adek-adek kecil itu berbaris secara amburadul, lha wong kakak-kakaknya aja memberikan contoh perilaku tidak tertib kok. Gimana tidak, mereka seenaknya aja keluar dari barisan yang akibatnya bikin barisan tidak rapi, eh mereka malah dengan santainya ada yang meneriaki agar adek-adeknya berbaris dengan rapi.Hmmmph..."

Itu kali yaa yang namanya mengajarkan bukan memberi teladan. Tiap orang mungkin dapat mengajarkan tetapi sangat sedikit sekali yang bisa memberi teladan. Contoh simpel ya fenomena di malam takbiran itu tadi. Mungkin sih teman-teman itu tadi merasa perlu keluar dari barisan untuk menjaga adek-adek agar mengurangi resiko terjadi kecelakaan atau hal-hal yang tidak diinginkan di jalan. Tapi dua orang saja cukup kan? yang lain kan bisa memberi contoh agar berbaris rapi? Terlebih yang kita beri contoh ini anak-anak. Kalau dalam Psikologi Perkembangan yang pernah aku pelajari sih, di usia anak-anak tersebut akan lebih memfokuskan pada apa yang dilihat secara konkrit daripada yang abstrak. Jadi, apa yang kita contohkan dalam perilaku akan dijadikan model ketimbang apa yang kita ucapkan.

Aku jadi kepikiran untuk menganalisis diriku, mungkin saja aku sering mengajarkan tapi tidak memberikan teladan. Bisa saja, tanpa disadari seringkali berkoar-koar tapi pengamalan dalam perilaku nol besar. Mungkin inilah contoh fenomena yang menyadarkan kita betapa pentingnya memberikan teladan, bukan sekedar mengajarkan. Setidaknya inilah pelajaran atau hikmah yang bisa kuambil dari pengalaman malam itu. The poin things adalah lebih berhati-hati lagi jikalau mengajarkan sesuatu hal kepada orang lain, agar lebih konsisten. Tidak hanya sekedar mengajarkan tapi juga menjadi teladan :)

Kamis, 19 Agustus 2010

Analogi Pelangi dalam Hidupku

Pelangi, mungkin banyak orang menyukainya. Tapi tidak sedikit juga yang tidak suka atau mungkin biasa saja melihat pelangi.

Iya, sih. Tapi kalau dirasakan lebih jauh, ada banyak hal yang dapat dipetik dari melihat pelangi. Lebih tepatnya banyak makna/pelajaran yang dapat kita raih (menurutku sih)...

Pertama, ketika kita melihat pelangi akan ada banyak warna di situ, dari merah sampai ungu, ada. Setiap warna memiliki keindahan sendiri-sendiri...dan semuanya terlihat semakin sempurna jika dilihat bersama-sama dalam bentuk pelangi. Dari sini, ada satu hal menarik yang menggelitik pikiranku, sekaligus membenarkan kata-kata dari seorang sahabat.

Jika pelangi ini dianalogikan dengan persahabatan atau relationship, mungkin saya biru (nggak dink!! sebenarnya saya lebih suka warna pink atau ungu), engkau merah, dia kuning, dan orang lain adalah warna lainnya.. maka, setiap orang akan mempunyai warna (ciri khas) sendiri-sendiri, yang seringkali (lebih tepatnya, memang) memiliki perbedaan satu sama lain. ada kelebihan yang dimiliki dan ada kekurangan yang dimiliki (kalau dalam peribahasa, "tak ada gading yang tak retak" kali ya). Tapi semuanya itu akan terasa lebih indah jika kita dapat memahami, saling menguatkan dan saling melengkapi satu sama lain, sehingga dapat melengkapi pelangi ukhuwah tersebut. Lain halnya jika kita saling menonjolkan kelebihan masing-masing tanpa dapat menerima kekurangan orang lain, maka ukhuwah tersebut tidak akan seindah pelangi.

Kedua, pelangi dapat diibaratkan sebagai ajang pendewasaan dan sumber kekuatan bagi kita..(at least menurut saya). Kenapa bisa begitu? Nah begini alasannya. Untuk melihat pelangi, tentu saja kita butuh hujan dan matahari, kan? kalau semisal hujan diibaratkan dengan kesedihan (dalam hal ini kita sedang dilatih untuk bersabar), kemudian matahari diibaratkan dengan kesenangan (dalam hal ini kita dilatih untuk bersyukur), maka keduanya sangat dibutuhkan untuk mendewasakan kita dan sebagai sumber kekuatan dalam mengarungi dunia yang keras ini. Saya pernah denger dari cerita seorang sahabat,katanya, syukur dan bersabar adalah dua kekuatan terbesar bagi seorang manusia. Nah, kalau begitu pas sekali bukan?

Demikian pula ketika kita melihat matahari sebagai sebuah pertemuan, dan gerhana sebagai sebuah perpisahan, maka kita juga butuh keduanya untuk belajar menerima segala ketentuan yang telah ditetapkan sekalipun itu tidak pernah meminta persetujuan kita lebih dulu, terlebih untuk segala hal yang telah terencana.

Hmmm...membicarakan tentang perencanaan, ada dua kata yang selalu saya ingat, yaitu sukses dan gagal. Yah, kesuksesan dan kegagalan saya rasa tidak akan pernah berakhir sepanjang hayat kita. Tapi sukses sejati adalah kemampuan untuk melalui kegagalan demi kegagalan tanpa kehilangan semangat untuk bangkit dan bangkit kembali.
kalau yang saya dapat ketika kuliah Dasar-dasar Konseling, pas sesi dosen tamu, begini katanya...
"Kita gagal bukan saat kita jatuh tetapi saat kita tidak bangun lagi." 
So, Never give up. Doing everything with God.

Kalau susah direalisasikan, kembali lagi ke prinsip awal, syukur dan bersabar.Yah meskipun saya panjang lebar di sini, toh juga sedang belajar untuk membiasakan bersyukur terhadap apa yang diberikan dan menerima dengan sabar apa yang telah terjadi meskipun tidak sejalan dengan keinginanku...