Jumat, 02 Oktober 2015

Selamat datang, Cinta~

Ketika aku telah menyadari bahwa aku sedang jatuh cinta,
rasanya ingin sekali menjadikannya sebagai angin saja,
yang hanya berhembus memberikan kesejukan, tanpa orang tahu benar arti kehadirannya.
Tampaknya bodoh sekali, tapi itu membuatku terlepas dari rasa canggung karena mencinta.

Bisa jadi pula mungkin menjadikannya sebagai ilalang,
yang merasa tidak pernah melampaui kecantikan sang mawar,
atau melampaui pohon yang kokoh tinggi menjulang.
Tampaknya merendah sekali, tapi itu membuatku terlepas dari rasa takut karena mencinta

Orang bilang mencinta mampu membawa rasa ini menjadi bahagia,
Pun membawa hidup ini terasa penuh dan lebih hidup,
Tapi mencinta dapat pula membuat hidup begitu berlebihan dan sakit bila tak berbalas



Aku ingin menjadikan rasa itu sebagai sebuah kesederhanaan sekaligus istimewa,
Sederhana, sebab tidak membuatku lupa diri dikarenakan kegilaan akan cinta,
Istimewa, karena cinta pasti datang di saat yang tepat dan dengan orang yang tepat,
tidak terlambat namun tak pula terburu-buru.



Saat dimana dua jiwa yang berbeda melebur jadi satu rasa,
Terikat dalam satu hati tanpa sebuah rekayasa,
Jika masa itu telah tiba, biarkan jiwa ini menyambutnya,
Membentangkan senyuman dan berkata, “Selamat datang, Cinta.”

Sabtu, 03 Januari 2015

Sebuah Pesan Klasik

Senja ini, untuk pertama kalinya aku menikmati hujan
Mencium aroma tanah basah, hingga menyentuh dinginnya udara
Rasanya..tanpa beban
Atau mungkin, sesungguhnya aku sudah mati rasa (?)

Tak jua kutemukan jawaban yang pasti
Hingga imajiku mengajak berlari
Membungkam hitungan detik yang kuingkari
Menggugahku, membuka kembali lembar demi lembar inspirasi

Ribuan mimpi tertata rapi di sana
Ada yang sudah terlampaui ,
Ada juga yang sedang diperjuangkan
Singkatnya, ini tentang “Aku, mimpi, dan perjuangan”

Sesederhana itukah esensi perjalanan ini (?)
Jikalau sesederhana itu, mengapa aku ingin berhenti menjadi bintang (?)
Mengapa pula kerapuhan menjadi bingkai nyaman tanpa kendali (?)

Ibaratkan semua ini puing-puing asa,
Ia telah hanyut, menghilang bersama derasnya aliran air
Atau mungkin pula seperti butiran debu,
Terkikis habis, hilang terbawa oleh angin
Kian hari, kian kuat, kian melekat erat
Namun, sayang tidak terlihat
Ah, barangkali aku yang belum siap bercumbu dengan realita
Setulus apapun aku bersikap bijak,
Senyatanya duniaku dipenuhi “dekapan sesal”
Dengan sangat emosional aku berteriak, “tak sanggup lagi”

Tapi, aku tidaklah sedang bermain drama
Aku butuh berdamai atau hanya sekedar menempatkan rasa dengan tepat
Di tengah cahaya yang kian meredup, berganti dengan malam yang kian larut
Aku mencari kembali satu pesan klasik di masa lampau

Yah, pesan itu benar-benar klasik dan sederhana,
Namun, dialah yang mampu membuatku berdiri tegak di saat aku “menyerah”
Masihkah ia diingat (?)

“semoga sinarmu tidak akan pernah padam dan tetap menjadi insan yang kuat,
mau badai sederas apa, tapi senyum tawa dan hati yang tulus tetap mewarnaimu”

Kata “terima kasih” akan selalu tersimpan rapi untuk doa ini
Di lain sisi, kata “maaf” pun mengiringi bersama sentilan tanya yang mengusik

Lantas, jika aku adalah dia
Tak bolehkah sekarang dia berterus terang jikalau sudah tak sanggup (lagi?)
Lalu,, tak bolehkah dia mengaku jikalau sudah jenuh(?)
Bukan ingin menyerah, hanya saja ingin menyampaikan kelugasan rasa.

Yogyakarta, 08 November 2013 Renungan pasca hujan