Senin, 29 Desember 2008

Melintasi Panggung Sandiwara

Beberapa orang temanku menyadarkanku akan satu hal, yaitu tentang "tak selamanya apa yang kita inginkan pasti terwujud". Hal ini semakin aku sadari ketika apa yang harus kualami dan harus kuhadapi ternyata tidak sejalan dengan apa yang dulu aku pikirkan. Yah, begitulah fenomena di dunia yang mirip dengan panggung sandiwara.

Dulu, aku selalu berprinsip anti kesibukan plus anti hal-hal yang ribet dan merepotkan. Tapi kenyataan yang ada justru kewajiban yang ada lebih banyak dari waktu yang tersedia. Alhasil, aku jadi manusia super sibuk yang sering diprotes teman-temanku karena untuk mem-bocking-ku atau berurusan denganku, soal apapun, harus punya janji seminggu sebelumnya, ga bisa mendadak. Bahkan tak jarang aku dikatakan sibuk banget sampai-sampai ga ada waktu buat mereka.

Zhiiinggg!! Jelas saja aku shock mendengarnya. Gimana tidak, keinginanku untuk terhindar dari kata sibuk justru malah menjadi kenyataan yang harus kujalani. Bahkan hal-hal yang kujalani ternyata tak jauh dari kata ribet dan merepotkan, for example, jadi sekretaris, sering direpotin teman (buat teman2ku yang sengaja atau ga sengaja baca, bukan berarti aku nggak senang direpotin kalian :-D), etc.... Tapi yang lebih anehnya kegiatan-kegiatan yang kulakukan itu -yang kata orang membuatku super sibuk- justru membuatku enjoy dan bisa mengembangkan diriku, bahkan kegiatan itu mendukung planning ke depanku banget (baca: bermanfaat banget). Yah..mungkin itu kali yaa yang namanya sebuah anugerah dari Tuhan yang sangat aku butuhkan, sekalipun tidak pernah sebersit pun aku pikirkan atau mungkin aku inginkan.

Dari sepenggal cerita ini, paling nggak aku tahu bahwa tak selamanya inginku akan sesuai dengan ingin-Nya. Dan ternyata ingin-Nya seringkali justru menjadi jalan mencapai apa yang aku butuhkan.. (bahkan seringkali aku merasa inginNya menjadi skenario terbaik bagi hidupku).

Terus apakah ketika apa yang kita inginkan pernah tidak terwujud kita tidak boleh kecewa? Kalau menurutku ya, bukan begitu juga... Kecewa boleh aja sih...aku juga pernah kok (namanya juga manusia), tapi (kata salah satu sahabat terbaikku) biarkan tangisan mengobati kekecewaan kita, tapi bukan kecewa padaNya, tapi kecewa pada diri kita sendiri karena tak mampu menerima kenyataan. Segala kemungkinan bisa saja terjadi bahkan untuk segala hal yang telah terencana. So, tugas kita ya... berusaha menjadikan apa yang hadir dalam diri kita menjadi yang terbaik, dan selalu S.E.M.A.N.G.A.T ^-^

***Bila waktuku telah sampai di penghujung***
**cobalah kau tatap fajar yang menghapus embun pagi**
*Bukan karna keangkuhannya, tapi karna seutas takdir tak bertaut di keduanya*

Minggu, 30 November 2008

Filosofi Nama "Novita Dewi Anjarsari"



Halo, my name is Anjar. The important things is I‘m female (ini penting karena setiap kali memperkenalkan diri di dunia maya, pasti dipanggil Mas sih *sigh*)

Tak kenal, maka tak akan ada kesan. So, ga ada salahnya kita memulai blog ini dengan perkenalan.. Kayaknya dimulai dari perkenalan nama aja kali yaa...
Okay... Di awal-awal perkenalan, terkadang masih ada beberapa yang menanyakan kenapa namaku Anjar? Sesungguhnya aku juga pernah dipanggil Novi atau Novita sih, itu pun cuma di masa SMA saja. Tapi, beberapa tahun terakhir aku familiar dipanggil Anjar, dan sepertinya orang lebih nyaman memanggilku dengan nama anjar, mulai dari memanggil anjarenji hingga anjarwati. Entahlah,, nama itu lebih sering diucapkan dibanding anjarsari yang konon adalah nama asliku. Sejatinya, begitu banyak nama panggilanku, sejak kecil hingga masa remaja gini, tidak ada nama tetap yang dipatenkan untuk menyebutku. Jangankan nama panggilan, nama asliku saja tidak ada kesepakatan yang pasti antara bapak dan ibuku. Hahaaa menggelikan memang. Tapi it’s okay untukku. Aku tidak terlalu memusingkannya. Bahkan, kakek nenekku (almarhum dan almarhumah) kesusahan pula memanggil dengan nama itu. Alhasil, tercetuslah panggilan "ambar" (ya mau gimana lagi, anjar lebih susah diucapkan daripada nama ambar sih) dan sari (paling gampang diucapkan katanya). Dengan berbagai pertimbangan, karena kepopuleranku dimulai dengan nama panggilan “Anjar”, maka aku akan memperkenalkan diri dengan nama “Anjar” saja ya? Heheee~~

Delapan belas tahun silam aku lahir di Kulon Progo, yang konon ceritanya masih termasuk wilayah bagian Yogyakarta. Menurut teman-temanku yang pernah kesana sih tempatnya jauuuuh banget, bahkan lebih jauh dari Klaten yang notabene sudah berbeda provinsi dengan tempat tinggalku. Sebenarnya aku tidak terlalu suka ditanya ataupun membicarakan mengenai kapan aku lahir. Alasannya adalah hanya orang-orang terdekatku yang tahu betul kapan aku sebenarnya lahir. (hahhaa sok eksklusif banget sih). Tapi jujur, tanggal lahir menurutku adalah privasi. Mungkin karena orang-orang terdekatku engga pernah merayakannya kali ya, jadi aku engga terlalu men-spesialkan-nya.

Semenjak lahir, ayahku memberi nama Novita Dewi Anjarsari, sedangkan ibuku memberiku nama Novita Denok Anjarsari. Ayahku, bahkan keluarga besar ayahku senang memanggilku dengan sebutan Dewi, yang sebenarnya panggilan yang tidak kusukai. Alasannya simpel, nama itu terlalu berat aku dengar (setelah aku tahu alasan mengapa nama itu menjadi nama tengahku di akte sih). Tapi it’s okaylah, lagi-lagi aku tidak pernah menolak apapun yang membuat keluargaku merasa nyaman. Ibuku, bahkan keluarga besarnya sendiri kurang menyukai panggilan itu. Ibu lebih senang memanggil dengan nama “nok” yang merupakan singkatan dari “denok”. Hanya saja pada akhirnya keluarga ibuku memutuskan untuk memanggilku “Anjar” setelah aku menginjak usia dewasa. 

Sekarang aku akan membahas, sebenarnya apa sih makna dibalik namaku?

Orangtuaku sangat senang memakai nama bulan lahir sebagai bagian dari nama anak-anaknya, terutama di bagian “first name”. Itulah mengapa “Novita” disematkan di awal. Tapi sebenarnya, lebih dari itu, Novita diartikan sebagai orang yang mudah memaafkan dan memberi keleluasaan/ kebebasan pada orang lain. Kemudian, aku berhasil lahir sebagai putri pertama (eits aku punya kaka loh tapinya), dan terlintaslah nama “Dewi” dalam benak bapakku. Artinya, anak perempuan yang diidam-idamkan menjadi putri terbaik/teristimewa, feminin/lemah lembut, penuh kasih sayang/welas asih, sosok yang selalu mendapatkan perhatian, mengayomi dan mampu meluluhkan hati setiap pendengarnya. Berat bukan? Itulah mengapa aku kurang menyukainya, soalnya membuatku merasa terbebani dengan nama itu. Tapi, kata orang-orang sih aku sudah sedikit banyak mendekati doa pengharapan itu. Hahahaa.. semoga saja yaa.. Kemudian nama selanjutnya adalah Anjarsari. Sejatinya, Anjar itu berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “terang” tapi biasanya digunakan untuk bayi laki-laki. (Hmmmmm.. mungkin orangtuaku lupa kali ya bayinya saat itu perempuan). Selanjutnya, “sari” yang dalam bahasa Sunda berarti “bunga yang indah” dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia artinya “inti”. Tapi orangtuaku memberi nama sari dengan pengharapan “menjadi anak yang menarik dan setia, menebak perasaan orang dengan mudah, lembut, baik, pekerja keras, dan selalu diberkati.” Jadilah kombinasi “Anjarsari” yang artinya kemudahan jalan untuk menjadi anak yang menarik, setia, peka/empatik, lembut, baik, pekerja keras, dan selalu diberkati.” Itulah kenapa padanannya menjadi “Anjarsari” bukan “Anjarwati” Dan atas alasan itupula aku suka sekali saat seseorang memanggilku dengan sebutan “anjarsari”. Sebenarnya ada satu kata lagi, yaitu “Denok”. Nama denok berarti sebutan untuk anak perempuan (bahasa Jawa) yang cantik (dalam bahasa Sunda).Ya, kurang lebih artinya sama lah dengan "Dewi".

Mempertimbangkan asas patrilineal di hidupku, diputuskanlah nama Novita Dewi Anjarsari dalam akte lahirku. Artinya, “anak perempuan teristimewa dan penuh dengan cinta kasih yang diberi jalan terang untuk menjadi sosok yang menarik, setia, pemaaf, menebak perasaan orang dengan mudah, lembut, baik hati, pekerja keras, dan selalu diberkati dengan kasih sayang.”

Sekali lagi nama adalah bagian dari doa dan pengharapan orangtua. Nah, lebih kurang itulah hal-hal yang diharapkan ada dalam diriku. Untuk seperti apanya diriku, teman-teman sendirilah yang bisa menilai baik buruknya :)  Setidaknya aku merasa mendekati seperti yang diharapkan orangtuaku sih. Heheee...